Mengatasi Stunting – Mulai dari Pra-Nikah

Stunting adalah kondisi kegagalan pertumbuhan fisik yang diukur berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur. Menurut World Health Organization (WHO), stunting terjadi jika tinggi badan menurut umur berdasarkan Z-score sama dengan atau kurang dari -2 SD di bawah rata-rata standar. Artinya, jika anak memiliki tinggi badan yang jauh di bawah rata-rata anak seusianya, maka dia dapat dikategorikan sebagai stunting.

Data stunting di Indonesia pada 2019 mencapai 27,67%, yang meskipun lebih rendah daripada sebelumnya, masih jauh dari target yang diinginkan pemerintah, yaitu 14% pada tahun 2024. Masalah yang dihadapi akibat tingginya angka stunting antara lain adalah penyakit kronis yang berdampak pada kualitas hidup individu, morbiditas dan mortalitas yang meningkat karena anak-anak yang stunting lebih rentan terhadap penyakit, kemampuan belajar dan produktivitas kerja yang dipengaruhi, serta peran reproduksi wanita yang lebih serius, seperti kesulitan dalam kehamilan dan persalinan serta risiko kecacatan pada bayi. Dengan demikian, pemerintah harus terus berupaya untuk menurunkan angka stunting di Indonesia, terutama melalui program-program gizi yang lebih efektif dan terintegrasi.

Bagaimana Mengatasi Stunting ?

DR.dr.Hasto Wardoyo SpOGK, Ka. BKKBN menyatakan diantara 5 juta kelahiran pertahun, terdapat 1,2 juta bayi stunting yang lahir, artinya stunting merupakan kondisi yang berhubungan erat dengan kehamilan.  Lebih lanjut dikatakan, bahwa program pengendalian stunting harus dimulai sejak periode pra-nikah khusus bagi calon ibu dan sekalian bagi calon suami, dilanjutkan pada saat hamil, pasca melahirkan (periode laktasi dan pasca laktasi). 

Pra-nikah

Pasangan menjelang nikah biasanya disibukan dengan acara ritual dan resepsi yang kompleks, mulai dari menetapkan panitia atau event organizer, gaun, perias, gedung, undangan, menentukan tamu undangan, dan tidak kalah pentingnya adalah aktivitas pre-wedding yang justru menjadi kegiatan paling heboh.  Menjelang pernikahan, para orang tua mempelai maupun mempelai sebaiknya mulai mengubah mindset dengan mengetrapkan pola keluarga hidup sehat. Pemeriksaan kesehatan pasangan sangat masuk akal untuk diprioritaskan, termasuk anggarannya. Pemeriksaan kesehatan dapat berupa skrining kesehatan secara umum maupun skrining kesehatan freproduksi.   Sebaiknya  berkunjung untuk berkunsultasi  ke dokter SpOG.

Pemeriksaan kesehatan untuk melihat kondisi fisik secara umum. Para calon sebaiknya memiliki indeks masa tubuh (IMT/BMI) yang normal atau ideal dengan mengukur Berat Badan (Kg)/Tinggi Badan (cm) kuadrat. Normalnya apabila skor berada di 18,5-24,9, sedangkan 25,0-29,9 termasuk overweight, di atas 30 obesitas, dan dibawah 18,5 termasuk underweight. Pemeriksaan kesehatan juga diarahkan apakah ada penyakit yang tidak kita sadari, seperti Obesitas, Hipertensi, Diabetes melitus, TBC, gangguan jantung dan paru, hiperthiroid, kelainan liver dan ginjal. Pemeriksaan yang sederhana seperti anemia dengan memeriksa kadar Hb, Ferritin. Pemeriksaan penyakit yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium diantaranya HIV, Sifilis, Hepatitis B. Apabila diperlukan dapat melakukan skrining toksoplasmosis, rubella dan citomegalo virus.

Apabila semua menunjukkan nilai normal, setelah menikah kehamilan dapat direncanakan, dengan harapan keadaan kehamilan maupun ibu dalam keadaan senang, sehat sampai dengan cukup bulan, serta melahirkan anak  dengan memiliki berat wajar setidaknya di atas 3000 g dan panjang badan lebih dari 49 cm.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top